Aksi nelayan saat
melakukan demo di DPRD Kabupaten Muna.
Belum Ada 'Lampu
Hijau' Bagi Nelayan Gae Ghoghombio
RAHA- Rapat dengar
pendapat antara nelayanan tradisional Pasikolaga dan nelayan Gae Lagasa yang
dimediasi oleh Komisi I DPRD Muna, Rabu (25/3), belum melahirkan solusi untuk
memecahkan konflik antara nelayan Gae Lagasa dan nelayan tradisional
Pasikolaga.
Pasalnya, nelayan
Gae Lagasa tetap bersikukuh untuk melakukan penangkapan ikan di Selat
Ghoghombio (Selat Buton), meskipun zona tersebut menjadi zona larangan sesuai
Permen Kementerian DKP Nomor 02 tahun 2011. Demikian pula dengan nelayan
tradisional Pasikolaga, bersikukuh agar aturan yang tercantum dalam Permen
ditegakkan, karena penangkapan ikan menggunakan kapal gae yang menggunakan
teknologi lebih canggih (jaring lingkar), dapat mengancam para nelayan
tradisional di selat tersebut.
Hearing sempat memanas,
karena salah seorang kelompok nelayan Lagasa, Machdin tiba-tiba naik pitam dan
mengamuk, lantaran tak terima dengan
pernyataan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Muna, La Ode Pali
Awaluddin yang menyarankan kepada
nelayan gae Lagasa untuk mengajukan Judical Review jika tidak sepakat dengan
Permen DKP No 02 tahun 2011. Namun situasi itu dapat dikendalikan sehingga
keributan dapat dihindari.
“Ini tidak benar.
Kami jangan dibatasi wilayah penangkapan kami. Kami juga adalah warga negara
yang mencari makan di laut,”teriak Machdin yang merubah suasana hering.
Di hadapan forum
hering bersama pemerintah daerah yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Muna,
La Samuri, Pali Awaluddin menegaskan bahwa nelayan Lagasa yang menggunakan alat
tangkap Gae atau jaring lingkar (crusair), tak diperbolehkan melakukan
penangkapan di jalur I (Selat Ghoghombio), hanya dibolehkan di jalur II dan
III.
Menurut Pali
Awaluddin, konflik ini sudah 27 tahun berlangsung. Dimana tahun 2000, DKP Muna
pernah melakukan upaya penertiban nelayan gae yang melakukan penangkapan di
Selat Ghoghombio, tapi sampai saat ini para nelayan gae tak mengindahkannya,
dan kerap melakukan penangkapan di Selat Ghoghombio, sehingga tindakan itu
memicu aksi pengusiran dari nelayan Pasir Putih dan Pasikolaga.
"Para nelayan
gae dari Towea dan Napabalano memahami Permen No 02 tahun 2011, sehingga mereka
tidak melakukan penangkapan ikan di selat Buton (Ghoghombio). Mereka menangkap
ikan dijalur yang telah ditetapkan, jalur
II dan III, bahkan mereka menangkap ikan sampai di perairan Morowali. Hal itu
tidak masalah sepanjang sesuai dengan zona atau jalur
tangkapnya,"pungkasnya.
Sementara itu,
Asisten I Setda Muna, Drs Arman Anwar menyampaikan agar masalah konflik antara
nelayan Lagasa dan Pasikolaga serta Pasir Putih, diselesaikan melalui
kesepakatan antara Desa.
"Nanti nelayan
dari kedua wilayah duduk bersama dimediasi oleh Pemda, mencari solusinya. Jika
memungkinkan, dan tidak ada
yang dirugikan
nelayan Gae tetap bisa melaut di selat Buton, tapi
tidak mengganggu
lokasi tangkap nelayan tradisional,"usulnya yang diterima positif oleh
para nelayan gae Lagasa.
Usulan lain
dikemukakan oleh anggota komisi I DPRD Muna, Mahmud Muhammad. Menurut Mahmud,
perairan di Kabupaten Muna sifatnya unik, karena dikelilingi oleh pulau-pulau,
beda kondisinya dengan wilayah lain, sehingga aspirasi nelayan gae Lagasa untuk
tetap melaut di Selat Ghoghombio bisa diterima, dengan catatan harus ada
pertemuan pihak-pihak terkait yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, TNI,Pemda,
DPRD dan masyarakat nelayan dari kedua belah pihak untuk duduk bersama membahas
persoalan ini. (sra/hum)
0 komentar :
Post a Comment