Thursday 26 March 2015



 Aksi nelayan saat melakukan demo di DPRD Kabupaten Muna.
 
Belum Ada 'Lampu Hijau' Bagi Nelayan Gae Ghoghombio

RAHA- Rapat dengar pendapat antara nelayanan tradisional Pasikolaga dan nelayan Gae Lagasa yang dimediasi oleh Komisi I DPRD Muna, Rabu (25/3), belum melahirkan solusi untuk memecahkan konflik antara nelayan Gae Lagasa dan nelayan tradisional Pasikolaga. 
Pasalnya, nelayan Gae Lagasa tetap bersikukuh untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Ghoghombio (Selat Buton), meskipun zona tersebut menjadi zona larangan sesuai Permen Kementerian DKP Nomor 02 tahun 2011. Demikian pula dengan nelayan tradisional Pasikolaga, bersikukuh agar aturan yang tercantum dalam Permen ditegakkan, karena penangkapan ikan menggunakan kapal gae yang menggunakan teknologi lebih canggih (jaring lingkar), dapat mengancam para nelayan tradisional di selat tersebut.

Hearing sempat memanas, karena salah seorang kelompok nelayan Lagasa, Machdin tiba-tiba naik pitam dan mengamuk, lantaran  tak terima dengan pernyataan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Muna, La Ode Pali Awaluddin yang menyarankan  kepada nelayan gae Lagasa untuk mengajukan Judical Review jika tidak sepakat dengan Permen DKP No 02 tahun 2011. Namun situasi itu dapat dikendalikan sehingga keributan dapat dihindari.
“Ini tidak benar. Kami jangan dibatasi wilayah penangkapan kami. Kami juga adalah warga negara yang mencari makan di laut,”teriak Machdin yang merubah suasana hering.

Di hadapan forum hering bersama pemerintah daerah yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Muna, La Samuri, Pali Awaluddin menegaskan bahwa nelayan Lagasa yang menggunakan alat tangkap Gae atau jaring lingkar (crusair), tak diperbolehkan melakukan penangkapan di jalur I (Selat Ghoghombio), hanya dibolehkan di jalur II dan III.

Menurut Pali Awaluddin, konflik ini sudah 27 tahun berlangsung. Dimana tahun 2000, DKP Muna pernah melakukan upaya penertiban nelayan gae yang melakukan penangkapan di Selat Ghoghombio, tapi sampai saat ini para nelayan gae tak mengindahkannya, dan kerap melakukan penangkapan di Selat Ghoghombio, sehingga tindakan itu memicu aksi pengusiran dari nelayan Pasir Putih dan Pasikolaga.

"Para nelayan gae dari Towea dan Napabalano memahami Permen No 02 tahun 2011, sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan di selat Buton (Ghoghombio). Mereka menangkap ikan  dijalur yang telah ditetapkan, jalur II dan III, bahkan mereka menangkap ikan sampai di perairan Morowali. Hal itu tidak masalah sepanjang sesuai dengan zona atau jalur tangkapnya,"pungkasnya.
Sementara itu, Asisten I Setda Muna, Drs Arman Anwar menyampaikan agar masalah konflik antara nelayan Lagasa dan Pasikolaga serta Pasir Putih, diselesaikan melalui kesepakatan antara Desa.
"Nanti nelayan dari kedua wilayah duduk bersama dimediasi oleh Pemda, mencari solusinya. Jika memungkinkan, dan tidak ada
yang dirugikan nelayan Gae tetap bisa melaut di selat Buton, tapi
tidak mengganggu lokasi tangkap nelayan tradisional,"usulnya yang diterima positif oleh para nelayan gae Lagasa.

Usulan lain dikemukakan oleh anggota komisi I DPRD Muna, Mahmud Muhammad. Menurut Mahmud, perairan di Kabupaten Muna sifatnya unik, karena dikelilingi oleh pulau-pulau, beda kondisinya dengan wilayah lain, sehingga aspirasi nelayan gae Lagasa untuk tetap melaut di Selat Ghoghombio bisa diterima, dengan catatan harus ada pertemuan pihak-pihak terkait yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, TNI,Pemda, DPRD dan masyarakat nelayan dari kedua belah pihak untuk duduk bersama membahas persoalan ini. (sra/hum)

0 komentar :

Post a Comment